Telah terbit di Tabloid Maritim
Sejarah peradaban manusia membuktikan, bahwa kemajuan suatu negara-bangsa amat ditentukan oleh kemampuannya dalam mendiagnosis akar permasalahan dan potensi pembangunan yang dimilikinya, dan kemudian menggunakan seluruh potensi tersebut untuk mengatasi sejumlah permasalahan secara cerdas, cepat, dan tepat. Dari perspektif ekonomi, permasalahan bangsa Indonesia yang paling mendasar dan mendesak adalah: kemiskinan (40 juta orang), pengangguran (37 juta orang), dan penurunan daya saing ekonomi. Kemiskinan dan pengangguran dalam jumlah besar bagaikan ’bom waktu’ yang setiap saat bisa meledak berupa demonstrasi, perkelahian masal, bahkan revolusi sosial. Lebih dari itu, kemiskinan dan pengangguran juga mengakibatkan seseorang (keluarga) tidak mampu mencukupi lima kebutuhan dasarnya (pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan pendidikan). Sehingga wajar, bila gizi buruk, busung lapar, folio dan diare kini merebak hampir di seluruh Nusantara. Gizi buruk, rendahnya pendidikan dan keterampilan yang menggelayuti kebanyakan saudara-saudara kita membuat daya saing ekonomi Indonesia semakin melorot, dan semakin tergilas oleh roda globalisasi yang sarat dengan persaingan keji semangat neo-liberalisme. Pendeknya, kemiskinan, pengangguran, dan rendahnya mutu SDM merupakan tiga musuh besar bangsa Indonesia yang harus segera dimusnahkan.
Untuk menanggulangi sejumlah persoalan di atas, maka kita harus segera memacu laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (di atas 7,5% per tahun) secara berkesinambungan (sustainable) dan, pada saat bersamaan, ’kue’ pertumbuhan ekonomi tersebut dibagikan kepada seluruh rakyat secara adil; sehingga dalam jangka pendek (5 tahun mendatang) seluruh anak bangsa minimal mampu memenuhi lima kebutuhan dasarnya. Sudah tentu, semua upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan termaksud haruslah mengindahkan daya dukung lingkungan, guna menjamin pembangunan yang kita laksanakan berlangsung secara berkelanjutan.
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan berkelanjutan hanya dapat direngkuh, jika kita mampu melakukan investasi dan usaha untuk:(1) merevitalisasi sumber-sumber pertumbuhan yang ada, dan (2) membangkitkan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru (new sources of economic growth). Salah satu sumber pertumbuhan eknonomi baru Indonesia yang potensinya sangat besar adalah pariwisata bahari (marine and coastal tourism). Namun sampai saat ini pemanfaatannya masih sangat rendah. Ibarat ’raksasa ekonomi yang masih tidur’ (the sleeping giant of economy).
Sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia, Indonesia dikaruniai Tuhan YME berbagai macam ekosistem pesisir dan laut (seperti pantai berpasir, goa, laguna, estuaria, hutan mangrove, padang lamun, rumput laut, dan terumbu karang) yang paling indah dan relatif masih ’perawan’ (pristine, unspoiled) (Mann, 1992). Diantara sepuluh ekosistem terumbu karang terindah dan tarbaik di dunia, enam berada di tanah air yakni Raja Ampat, Wakatobi, Taka Bone Rate, Bunaken, Karimun Jawa, dan Pulau Weh (WTO, 2000). Ringkasnya, kawasan pesisir dan laut Indonesia merupakan tempat ideal bagi seluruh jenis aktivitas pariwisata bahari yang meliputi: (1) sun bathing at the beach or pool; (2) ocean or freshwater swimming; (3) beachside and freshwater sports such as water scooter, sausage boat, water tricycle, wind surfing, surfboarding, paddle board, parasailing, kayacking, catamarans, etc; (4) pleasure boating; (5) ocean yachting; (6) cruising; (7) fishing; (8) diving, snorkeling, glass boat viewing and underwater photography; (9) marine parks; (10) canoeing; and (11) coastal parks, wild life reserves, rain forest, gardens and trails, fishing villages.
Jika kita mampu mengembangkan potensi bahari, maka nilai ekonomi berupa perolehan devisa, sumbangan terhadap PDB, peningkatan pendapatan masyarakat, penciptaan lapangan kerja, dan sejumlah multiplier effects sangat besar. Sebagai perbandingan adalah Negara Bagian Queensland, Australia dengan panjang garis pantai hanya 2100 km dapat meraup devisa dari pariwisata bahari sebesar US$ 2,1 milyar pada tahun 2003. Demikian juga halnya dengan Malaysia, Thailand, Maladewa, Mauritius, Jamaica, dan Negara lainnya yang telah menikmati nilai ekonomi cukup besar dari pariwisata bahari. Sampai saat ini devisa dari sektor pariwisata bahari di Indonesia baru mencapai sekitar US 1 milyar per tahun.
Untuk meningkatkan kinerja sektor periwisata bahari, lima komponen utama dari sisi pengadaan (supply side) parwisata bahari, yakni objek pariwisata bahari (attractions), transportasi, pelayanan, promosi, dan informasi, harus secara terpadu diperkuat dan dikembangkan, sehingga lebih atraktif atau minmal sama dengan yang ditawarkan oleh negara-negara lain. Selain itu, sektor pariwisata bahari harus didukung oleh kebijakan ploitik-ekonomi (keuangan, ketenagakerjaan, infrastruktur, keamanan dan kenyamanan, dan kebijakan pemerintah lainnya) yang kondusif.
Komentar Terbaru